Film Mungkin Kita Perlu Waktu: Kisah Keluarga dan Penyembuhan Luka
Film Mungkin Kita Perlu Waktu adalah drama keluarga menyentuh yang merefleksikan proses berduka dan komunikasi dalam keluarga yang mengalami kehilangan.
Disutradarai dan ditulis oleh Teddy Soeriaatmadja, film ini merupakan kolaborasi tiga rumah produksi ternama. Tayang perdana di Festival Film Asia Jogja-NETPAC 2024, film ini mendapat respons positif dan siap menyapa penonton di bioskop.
Di bawah ini REVIEW FILM INDONESIA akan membahas film Mungkin Kita Perlu Waktu, yang mengangkat kisah mengharukan tentang proses berduka dan dinamika keluarga dalam menghadapi kehilangan.
Kisah Mendalam Tentang Luka dan Harapan
Film ini mengangkat cerita tentang sebuah keluarga yang awalnya tampak harmonis tetapi mengalami perubahan besar setelah meninggalnya putri sulung mereka, Sarah, yang meninggalkan duka mendalam bagi sang ayah, Restu, sang ibu, Kasih, dan adik laki-laki mereka, Ombak.
Kepergian Sarah tidak hanya menghadirkan kesedihan, tapi juga trauma yang mengoyak hubungan dalam keluarga tersebut. Rumah yang tadinya penuh kehangatan berubah menjadi tempat yang sunyi dengan jarak emosional yang makin melebar.
Perjalanan emosional setiap anggota keluarga dalam menghadapi duka dihadirkan dengan sangat realistis dan menguras perasaan. Ombak, remaja berusia muda yang juga penyintas upaya bunuh diri, menanggung beban rasa bersalah mendalam atas kepergian kakaknya.
Ia kerap mengalami serangan kecemasan dan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang tua maupun lingkungannya. Kasih mengambil jalan spiritual untuk mengatasi kesedihannya dengan menjalani ibadah umroh, meninggalkan keluarganya dalam suasana sunyi yang terus menambah jarak antar anggota keluarga.
Sementara Restu mencoba menjaga keutuhan keluarga dengan berusaha mencari bantuan psikolog, meski tidak semua anggota keluarga siap untuk terbuka dan menerima bantuan tersebut.
Dinamika Keluarga yang Kompleks dan Isu Komunikasi
Salah satu tema utama yang sangat kuat adalah masalah komunikasi yang buruk dalam keluarga, yang sering kali menjadi penyebab konflik dan keterasingan emosional. Restu dan Kasih yang telah menikah puluhan tahun, nyatanya gagal berkomunikasi secara efektif, sehingga seringkali terjadi kesalahpahaman dan asumsi negatif antar keduanya.
Meskipun tinggal serumah dan makan bersama, Ombak tidak mampu menjalin komunikasi yang baik dengan orang tuanya. Ia justru sering menunjukkan emosi negatif saat berhadapan dengan mereka.
Situasi ini mencerminkan realita yang sering terjadi dalam keluarga Indonesia. Ketidakmampuan untuk saling mendengarkan dan memvalidasi perasaan menjadi masalah klasik yang kerap terabaikan.
Sutradara Teddy Soeriaatmadja berhasil mengangkat konsep five stages of grief atau lima tahap berduka yang dikemukakan oleh psikiater Elisabeth Kübler-Ross sebagai kerangka narasi film ini. Masing-masing karakter mewakili tahapan berbeda Kasih berada di tahap kemarahan (anger), Restu di tahap penyangkalan (denial), dan Ombak pada tahap depresi (depression).
Proses penyembuhan yang digambarkan tidak linear, tetapi penuh dengan dinamika yang realistis dan manusiawi, memperlihatkan bahwa pemulihan dari luka batin membutuhkan waktu, kesabaran, dan keinginan untuk saling memahami.
Baca Juga: Perang Kota: Salah Satu Film Drama Perang Indonesia Terbaru
Harapan Baru dan Isu Kesehatan Mental
Kisah dalam film ini tidak hanya gelap dan penuh duka, tetapi juga menyisipkan secercah harapan. Tokoh Ombak bertemu dengan Aleiqa, seorang gadis yang hidup dengan bipolar disorder. Kehadiran Aleiqa membawa warna baru dalam kehidupan Ombak yang suram. Meskipun keduanya sama-sama berjuang dengan masalah kesehatan mental, mereka saling membantu untuk bangkit.
Hubungan mereka tumbuh dalam ketulusan, namun tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah masalah komunikasi yang kerap menjadi sumber kesalahpahaman. Situasi ini menciptakan ketegangan yang bisa menjadi “bom waktu” dalam hubungan mereka. Konflik yang muncul memperlihatkan kerentanan dan kedalaman karakter utama.
Film ini menyoroti isu kesehatan mental yang masih dianggap tabu, terutama dalam keluarga Indonesia. Para aktor melakukan riset mendalam, termasuk berdiskusi dengan psikolog dan penyintas kondisi serupa. Usaha tersebut membuat penyajian cerita terasa lebih autentik dan menyentuh hati.
Pemain dan Produksi Berkualitas
Film Mungkin Kita Perlu Waktu diperkuat oleh jajaran pemeran ternama yang mampu menghidupkan karakter dengan sangat kuat dan emosional. Bima Azriel memerankan Ombak, sosok remaja yang penuh pergolakan batin. Lukman Sardi tampil sebagai Restu, ayah yang tegar namun menyimpan luka dalam yang dalam.
Sha Ine Febriyanti berperan sebagai Kasih, ibu yang bergulat dengan kemarahan dan kesedihan mendalam. Selain itu, Tissa Biani sebagai Aleiqa dan Asri Welas sebagai psikolog Nana turut menambah dinamika cerita yang kaya dan penuh nuansa.
Proses kreatif film ini berakar dari refleksi pribadi sang sutradara selama masa pandemi tahun 2022. Ia menggali dinamika keluarga dan isu psikologis yang sering tersembunyi di balik kegelisahan sehari-hari.
Dengan durasi 95 menit, film ini tetap mampu menyajikan narasi yang padat dan fokus. Meskipun singkat, setiap detail emosional tetap tersampaikan dengan kuat dan menyentuh.
Kesimpulan
Mungkin Kita Perlu Waktu adalah sebuah karya yang membuka mata khalayak tentang pentingnya memberi ruang bagi proses berduka yang tidak bisa dipaksakan. Film ini mengajarkan bahwa setiap individu dan keluarga memiliki cara dan waktu yang berbeda dalam menghadapi kehilangan dan trauma.
Keberanian untuk mengakui luka, bersabar, dan berusaha saling memahami menjadi inti dari perjalanan penyembuhan. Perjalanan ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif dalam sebuah keluarga. Dengan penggambaran yang hangat dan manusiawi, film ini menyentuh isu kesehatan mental yang semakin relevan.
Film ini juga menyoroti pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka sebagai pondasi keluarga yang sehat. Mungkin Kita Perlu Waktu bukan sekadar hiburan, melainkan cermin bagi banyak keluarga yang menghadapi luka. Film ini mengingatkan kita bahwa mungkin, memang kita semua perlu waktu untuk sembuh dan kembali kuat.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari Yt Adhya Pictures
- Gambar Kedua dari radarbonang.jawapos.com